Senin, 11 April 2011

Realitas Penanganan Kemiskinan di Indonesia (konsep,realita dan kebijakan)

Data ini merupakan makalah saya untuk mata kuliah pengantar keuangan publik saat saya tingkat 2 STAN 2009/2010
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Masalah kemiskinan sangat erat kaitannya dengan masyarakat Negara berkembang seperti Indonesia, masalah kemiskinan seakan tidak pernah pernah selesai apapun dan cara tindakan baik yang dilakukan pemerintah melalui kebijkan formal muapun yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kemanusiaan. Kemiskinan secara kasar dapat didefinisikan dengan ketidakmampuan seseorang mengakses kebutuhan primer secara layak , seperti sandang, pangan  papan serta pendidikan . secara umum kemiskinan juga ditandai dengan akses layanan kesehatan dan sanitasi yang buruk . kemiskinan hampir ada disetiap daerah baik daerah pegunungan seperti di Papua ataupun didaereh pedesaan  di lingkungan masyarakat baduy bahkan dikota besar seperti Jakarta.
Dalam sebuah negara berkembang  seperti Indonesia, masalah kemiskinan akan selalu menjadi tema dan agenda utama pemerintah dalam mensejahterakan rakyatnya baik saat kampanye pemilu, pemilukada sampai saat penyusunan anggaran seperti APBN atau APBD. Berbagai program digulirkan semenjak kemerdekaan  sampai sekarang yang sudah berganti presiden hingga 6 kali, Dari mulai program IDT, P2KP, Raskin, BLT, sampai ke PNPM. Namun, ketika kita berusaha untuk mengevaluasi setiap program pemerintah tersebut, dalam kenyataannya jumlah orang miskin di Indonesia tidak berubah secara signifikan. Ketika pun terjadi penurunan maka hal tersebut lebih karena perbedaan data statistik yang tersedia yang mungkin dimanipulasi untuk tujuan lain yang mungkin dianggap lebih baik.
Bank Dunia (World Bank) mencatat, jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 49,5% jika diukur dari pendapatan perkapita US $ 2 per hari. Sementara pemerintah Indonesia yang merujuk pada data BPS, menyebutkan, jumlah orang miskin tahun 1998 adalah 79,8 juta jiwa, yang secara bertahap sempat menurun pada tahun 2003-2005. Ketika harga BBM naik 100% pada 1 Oktober 2005 kembali menaikkan jumlah orang  miskin sebesar 39,30 juta jiwa (17,75%)   pada Maret 2006, padahal Februari 2005 hanya 35,1 jiwa. Sedangkan pada tahun 2007 terjadi penurunan ke angka 37,17 juta jiwa (Berita Indonesia, 28/12/2007). Data diatas mungkin kurang relevan untuk saat ini tetapi secara umum hal tersebut menggambarkan bahwa masalah in sudah ada sejak dulu bukan hanya sekarang saja, dan toh seandainya menggunakan data barupun jika kita melihat di sekitar maka tidak akan jauh berbeda.


Gmbr : lapak sarmili, Tangerang selatan
 doc. Interaction STAN
Kejadian luar biasa didunia luar sana seperti pelaksanaan CAFTA hingga  piala dunia tidak sedikitpun terlihat mengubah wajah buram kemiskinan di Indonesia yang seakan sudah ditakdirkan untuk kelaparan ditengah tumpukan padi dan bodoh saat berada diantara guru-guru besar yang hebat . Butuh kerja sama yang sungguh-sungguh untuk paling tidak selalu mengurangi jumlah warga miskin karena pada hakikatnya menghapus kemiskinan seperti melukis dalam air. Setiap tindakan manusia sendiri pada hakikatnya secara langsung atau tidak langsung akan membuat orang lain menjadi miskin. Kenapa penyusun berfikir seperti itu??? Karena semua orang pasti telah didoktrin untuk melakukan tindakan sesuai hukum ekonomi yang pada dasarnya selalu mementingkan diri sendiri dan mengorbankan orang lain.
1.2                        Tujuan Penulisan
Tujuan  penyusunan makalah ini adalah dalam rangka pemenuhan tugas akhir mata kuliah Pengantar Keuangan Publik  program diploma III Sekolah Tinggi Akuntansi Negara . diharapkan dengan penyusunan penulis dapat memahami lebih jauh tentang materi distribusi pendapatan serta lulus di matakuliah ini dengan nilai yang memuaskan.

BAB 2
LANDASAN TEORI
Secara teori penanggulangan kemiskinan berkaitan dengan masalah redistribusi pendapatan suatu negara. Dslsm bukunya Suparmoko menjelaskan bahwa terdapat beberapa teknik redistribusi pendapatan yang pada pokoknya dapat digolongkan menjadi tiga macam yaitu yang berupa transfer tunai, transfer barang dan pemberian kesempatan kerja
2.1             Transfer tunai
Transfer tunai adalah secara umum didefinisikan sebagai bantuan pemerintah kepada masyarakat dengan memberikan uang secara langsung.
2.1.1        Pajak pendapatan negative –Negatif income tax (NIT)
Inti dari teori ini adalah apabila suatu keluarga mempunyai pendapatan  dibawah pendapatanperkapita atau keluarga yang  berada dibawah garis kemiskinan berhak mendapat bantuan tunai dari pemerintah sebesar selisih antara pendapatan yang ia dapat dengan garis kemiskinan yang ditetapkan pemerintah (break even income) .  Semakin jauh kebawah perbedaannya dengan garis kemiskinan maka semakin banyak dana tunai yang berhakia terima.
2.1.1.1 pengaruh  NIT terhadap keinginan untuk bekerja
NIT dapat dipandang dari sudut pandang income effect maupun substitution effect.darai sudut pandang income effect maka NIT akan mengurangi insentif kerja karena walaupun seseorang tidak bekerja maka masih akan tetap dapat hidup layak. Sedangkan dari sudut pandang substitution effect NIT juga memberikan dampak mengurangi insentif kerja karena masyarakat dapat berfikir unruk tidak bekerja  karena apabila mereka bekerja dan mendapat penghasilan maka subsidi atas mereka dari pemerintah juga akan berkurang sehingga kesejarteraan mereka akan sama saja.
2.1.1.1.2 Pengaruh NIT terhadap welfare cost
Pada intinya NIT akan membuat masyarakat menjadi enggan untuk menambah jam kerjanya karena berpendapat bahwa gaji yang mereka terima terlalu rendah  dan sudah cukup dari bantuan tunai pemerintah.
2.1.1.1.3           Pengaruh NIT terhadap taxi ncidence
Seperti diungkapkan sebelumnya karena masyarakat menjadi kurang tertarikuntuk bekerja lebih maka penawaran dalam pasar tenaga kerja berkurang sedangkan permintaan akan tenaga kerja tetap maka hal ini akan menyebabkan kenaikan upah tenaga kerja yang akan membebani perusahaan,yang pada akhirnya juga akan mengurangi jumlah pajak yang dapat dipungut oleh Negara,

2.2             Demogrant
Sama penerapannya dengan pajak pendapatan negative hanya saja bantuan dari pemerintah ini diberikan kepada siapa saja dalam suatu wilayah tanpa memperhatikan jumlah pendapatan mereka dalam jumlah pemberian tunai yang sama untuk setiap orang,
Akibat yang ditimbulkan akan sama dengan  karena masyarakat menjadi kurang berinisiatif dalam bekerja yang disebabkan mereka terlalu mengandalkan bantuan dari pemerintah.
2.3             Subsidi upah-wage rate subsidies(WRS)
Yaitu bantuan tunai yang diberikan kepada masyarakat dengan memberikan tambahan penghasilan untuk setiap pekerjaan, perbedaan dengan pajak pendapatan negative adalah apabila dalam pajak pendapatan negative setiap perubahan  pendapatan masyakat akan diikuti oleh perubahan jumlah subsidi yang sama besar sedang dalam subsidi upah apabila masyarakat mengalami kenaikan pendapatan maka jumlah subsidi yang dikurangi lebih kecil dari jumlah pendapatan yang ia miliki. Hal ini diharapkan dapat mendorong masyarakat untuk mencari pendapatan yang lebih baik.
Akibat dari kegiatan WRS adalah semakin meningkatnya  semangat dan inisiatif masyarakat dalam bekerja karena mereka akan semakin sejahtera apabila mereka menambah jam kerja mereka, hal ini berbeda denga NIT karena dalam WRS masyarakat akan tetap mendapat subsidi walaupun penghasilannya meningkat.
2.4                 Transfer tunai dan transfer innatura
Terdapat dua macam pendapat mengenai lebih efisien mana antara transfer tunai dengan transfer innatura. Menurut para ekonom transfer tunai akan memberikan kebebasan dan keleluasaan yang lebih besar bagi masyarakat untuk menggunakan dana yang diberikan pemerintah untuk memenuhi kebutuhannya secara spesifik. Sedangkan ekonom lainnya berpendapat bahwa transfer tunai akan mengurangi control pemerintah terhadap tujuan-tujuan yang akan dicapai.  Transfer innatura juga dapat meningkatkan konsumsi atas barang yang diberikan kepada masyarakat sehingga menguntungkan beberapa pihak sebagai external benefit. Contoh program transfer secara tunai adalah pemberian Bantuan langsung Tunai (BLT) yang dikeluarkan untuk mengurangi beban masyarakat sebagai akibat dari kenaikan harga BBM. Sedangkan contoh program pemerintah yang melalui transfer innatura adalah kegiatan pembagian beras miskin (raskin) yang ditujukan untuk masyarakat miskin yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya secara layak , walaupun hanya 25% saja kebutuhan masyarakat yang dipenuhi oleh pemerintah.


2.5             Program kesempatan kerja
Bagi beberapa golongan masyarakat bantuan berupa penciptaan  lapangan kerja lebih bermanfaat bagi mereka dari pada bantuan secara tunai yang hanya akan berefek untuk jangka pendek saja. Golongan masyarakat ini mudahnya dapat diidentifikasi pada golongan umur produktif yang belum memiliki kesempatan bekarja. Sedang golongan lain mungkin memilih menerima bantuan secara tunai karena lebih bermanfaat misalnya golongan lansia yang berada digaris kemiskinan.
Program Pemerintah yang telah dilaksanakan  untuk menciptakan lapangan kerja misalnya dengan kebijakan penggunaan produk dalam negeri untuk belanja pemerintah yang dibiayai ABPN serta mendirikan Badan latihan kerja di setiap kabupaten untuk mendidik penganggur golongan umur produktif serta PNPM mandiri.


BAB 3
PEMBAHASAN

3.1  Realitas penanganan Kemiskinan di Indonesia
Selama beberapa dekade terakhir pemerintah melakukan berbagai tindakan melalui pencanangan program penanggulangan kemiskinan, baik melalui pendekatan nasional,sektoral, regional, kelembagaan, strategi umum maupun kebijakan khusus. Mulai dari IDT (1994-1998), Program Kesejahteraan Sosial Kelompok Usaha Bersama Keluarga Muda Mandiri (Prokesos KUBE KMM), Tabungan Kesejahteraan Rakyat (Takesra), Kredit Usaha Kesejahteraan Rakyat (Kukesra), Kredit Usaha Kecil Menengah, Jaring Pengaman Sosial (JPS), P2KP, PNPM Mandiri, dan yang paling baru Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang sudah sampai dijamin oleh pemerintah. Namun, implementasinya masih kurang sesuai dengan harapan.
Berikut adalah beberapa evaluasi implementasi beberapa program kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan :
3.1.1Program JPS dan OPK
Program JPS (jaring Pengaman Sosial) adalah salah satu program penanggulangan kemiskinan yang digulirkan pemerintah Indonesia  pada masa krisis ekonomi lalu, yang salah satunya  ditujukan untuk bidang pendidikan dan kesehatan, baik yang dilaksanakan LSM lokal maupun LSM asing danBeberapa diantaranya masih berlangsung sampai sekarang. Salah satu contohnya adalah OPK (Operasi Pasar Khusus) yakni bantuan pangan yang dioperasionalkan sejak tahun 1998 sebagai bagian dari program JPS dalam rangka meminimalisasi dampak krisis ekonomi. Pada tahun 2001 pada  dengan tujuan untuk mempertajam penetapan sasaran, program ini berubah nama menjadi program raskin.



Gb.2. masyarakat pinggiran Jakarta
Doc. Interaction STAN
Berbagai penelitian serta studi terhadap program OPK dan Raskin menunjukkan kurang efesiennya program tersebut. Terutama dalam penetapan sasaran serta distribusi yang tidak merata karena ternyata banyak dengan dana yang dianggarkan semakinpula banyak terjadi penyimpangan,baik ditingkat pusat bahkan sampai RT yang sering menjadi pemberitaan saat mereka memotong jumlah beras yang seharusnya diterima masyarakat yang benar-benar miskin.
Sampai sekarang program tersebut masih berjalan dan senantiasa diperbaiki oleh pemerintah baik dari segi distribusinya maupun kualitas beras yang disalurkan, yang dulu sering dile;uhkan masyarakat karena tidak layak konsumsi.
3.1.2Program BLT (Bantuan Langsung Tunai) / SLT (Subsidi Langsung Tunai)
Program Subsidi Langsung Tunai (SLT) merupakan program pemerintah yang bertujuan sebagai kompensasi atas kenaikan harga BBM sejak tahun 2005 lalu. BLT/SLT ini disalurkan secara langsung dan tunai melalui cabang-cabang PT Pos Indonesia, dengan alokasi anggaran untuk setiap rumah tangga miskin mendapatkan jatah Rp 100.000,00 per bulan dan dibayarkan setiap tiga bulan sekali.
Banyak sekali hasil-hasil penelitian yang menunjukkan bahwa program ini sangat tidak efektif. Karena sifatnya yang langsung hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) masyarakat, banyak pihak mengkritik kebijakan pemerintah ini. Terutama banyak diantara mereka yang menyatakan bahwa program ini justru menyuburkan “jiwa miskin” masyarakat Indonesia yang memang sudah terlalu lama dijajah sehingga selalu menganggap dirinya miskin walaupun sudah berhasil mencukupi kebutuhannya.
Program ini pun dalam kenyataannya masih menyisakan banyak permasalahan karena kurangnya data dan kriteria yang jelas sehingga masyarakat yang selayaknya tidak mendapatkan juga ikut mendapatkan. Merkapun dengan senang hati menerima mungkin karena sudah terlanjur merasa miskin tadi.
3.1.3 Program P4K (Pembinaan Pendapatan Petani Nelayan Kecil)
Program P4K ini merupakan program hasil kerjasama Departemen Pertanian dengan BRI yang dimulai sejak tahun 1979-2005. Indikator keberhasilan yang digunakan adalah tumbuh dan berkembangnya KPK (Kelompok Petani-nelayan Kecil), dimana mereka diupayakan untuk menjadi kelompok mandiri yang ditandai dengan pengurus dan anggota yang aktif, dana bersama yang terus berkembang, dan terintegrasikannya program P4K ke dalam program pembangunan  daerah.
Dalam beberapa lsumber disebutkan bahwa salah satu penggerak utama program ini adalah para PPL (Petugas Penyuluh Lapangan), yang bertugas mendampingi KPK dalam mengembangkan usaha mereka sekaligus membantu mengelola uang hasil pinjaman. Dengan berakhirnya program, maka tidak ada lagi insentif yang akan diterima PPL untuk mendampingi KPK tersebut sehingga patut dipertanyakan keberlanjutan bahkan keberadaan KPK tanpa adanya PPL.
3.1.4  PPK dan P2KP
PPK (Program Pengembangan Kecamatan) dan P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan) adalah program penanggulangan kemiskinan berbasis masyarakat yang merupakan kerjasama antara Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia , dan diluncurkan dalam kurun waktu 1998-1999 dengan tujuan untuk meningkatkan dan mengembangkan sarana perkotaan  (P2KP) dan pedesaan (PPK).
Program PPK dan P2KP, tujuan strateginya adalah alih kelola program kepada masyarakat dan pemerintah daerah agar tujuan, prinsip dan sistem PPK dapat melembaga sebagai suatu sistem pembangunan partisipatif di desa dan kecamatan. Sementara pada P2KP, strategi ditujukan untuk menjamin agar indikator keberlangsungan P2KP dapat tercapai. Langkah-langkah yang dilakukan pada fase ini diantaranya: evaluasi partisipatif P2KP di tingkat kelurahan, penguatan kembali lembaga lokal, perluasan program oleh masyarakat, dan mengintegrasikan P2KP dengan lainnya. Namun kemudian, pada tahun 2007, seiring dengan pengembangan kebijakan payung (umbrella policy) untuk program-program pemberdayaan masyarakat, PPK dan P2KP diintegrasikan menjadi PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat).
3.1.5  PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri
PNPM Mandiri adalah program nasional dalam wujud kerangka kebijakan sebagai dasar dan acuan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. PNPM Mandiri dilaksanakan melalui harmonisasi dan pengembangan sistem serta mekanisme dan prosedur program, penyediaan pendampingan, dan pendanaan stimulan untuk mendorong prakarsa dan inovasi masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan yang berkelanjutan.
PNPM ini bertujuan untuk memberdayakan masyarakat miskin dengan melibatkan semua komponen masyarakat (pemerintah, swasta, dan masyarakat) dengan menerapkan konsep pembangunan partisipatif secara konsisten, dinamis dan berkelanjutan. PNPM ini dilaksanakan dengan bertumpu pada asas desentralisasi dimana pemerintah daerah mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan program dengan melibatkan sepenuhnya masyarakat lokal untuk penanggulangan kemiskinan. Kegiatan dalam PNPM menekankan pada proses pendampingan melalui fasilitator, mediasi, pengembangan kapasitas, dimana relawan adalah aktor utama penggerak masyarakat. Selain itu juga penyediaan dana bagi masyarakat untuk membiayai kegiatan-kegiatan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat miskin serta adanya penyediaan sarana dan prasarana fisik, sosial, ekonomi secara padat karya.
            Program ini sempat mendapat tentangan dari beberapa kepala daerah yang merasa keberatan karena adanya kebijakan yang mengharusankan pemerintah daerah  menyediakan dana talangan.  apabila dana dari pusat belum ada. Namun hal ini dapat diatasi sehingga program dapt terus dilanjutkan.
3.2             Evaluasi atas Konsep, Kebijakan dan Implementasi
Berdasar data dan keterangan ysng ketahui penulisa maka penulis dapat menyimpulkan bahwa penanggulangan kemiskinan masih belum optimal karena masihmemiliki beberapa masalah yang harus di selisaikan kedepannya.Ada beberapa point yang dapat disimpulkan terkait dengan evaluasi kebijakan program, antara lain :
3.2.1        Inkonsistensi pemerintah program-programnya
Hal yang paling sederhana yang dapat diamati adalah dengan bergantinya pemerintahan maka akan terjadi perubahan kebijakan yang sering mengabaikan program dan kebijakan pemerintahan sebelumnya sehingga banyak program yang berhenti ditengah jalan dan tidak berjalan dengan optimal. Pergantian pemerintahan ini bukan hanya pergantian pada tingkat pusat tetapi juga pergantian penguasa di daerah.
3.2.2        Politisasi isu-isu kemiskinan dan kesejahteraan sosial
Kondisi inilah yang paling banyak dikeluhkan oleh beberapa anggota masyarakat yang terutama tergabung dalam LSM. Oleh karena itu kadang masyarakat menjadi apatis terhadap sistem kepemimpinan bangsa selama bertahun-tahun. Karena, seringkali politisi-politisi kita membawa-bawa isu kesejahteraan sebagai jalan untuk memenangkan kekuasaan sedangkan kenyataannya tidak sesuai dengan yang dijanjikan.
Seperti misalnya, isu-isu pembangunan ekonomi kerakyatan, pemberdayaan masyarakat marginal, kebijakan pendidikan dan pelayanan kesehatan gratis,hingga yang paling popular dalam pemilu tahun lalu adanya istilah neolib yang lebih banyak rakyat miskin tidak tahu,yang kesemuanya itu terkesan lip service,. Sehingga wajar saja, jika tiap pergantian kepemimpinan, program-program penanggulangan kemiskinan senantiasa berganti-ganti nama meski konsepnya sama. Dan jumlah orang miskinpun tetap saja tidak berubah dari tahun ke tahun. Bahkan, banyak program yang berhenti di tengah jalan. Contoh misalnya, program P2KP dan PPK yang diganti dengan PNPM Mandiri, kemudian program P4K yang ‘terkatung-katung’ karena sumber daya PPL yang tidak terpenuhi sehingga pendampingan petani-nelayan tidak berjalan maksimal, program OPK yang berganti nama lagi pada tahun 2001 menjadi kebijakan Raskin.

3.2.3        Tidak ada prioritas pemerintah daerah
Banyak daerah yang tidak mempunyai prioritas alokasi anggaran. Entah itu karena ketidaktahuan akan pentingnya program pembangunan sosial dan penanggulangan kemiskinan, atau karena memang tak ada political will untuk membelajakan anggaran bagi rakyat miskin atau mungkin juga anggaran daerah digunakan sebagai ajang bancakan KKN oleh elite daerah. Pemberian bantuan-bantuan sosial yang bersifat karikatif memang perlu, asalkan tidak dijalankan secara terus-menerus, karena ini akan menimbulkan ketergantungan masyarakat kepada pemerintah. Akibatnya, masyarakat menjadi tidak bisa memberdayakan diri secara mandiri.
3.2.4        Management yang buruk
Raskin dan BLT adalah contoh program yang sering mendapat kritik banyak pihak karena manajemen pengelolaannya tidak baik. Penyaluran Raskin dan BLT sering tidak tepat sasaran. Kesalahan sasaran ini akibat data penduduk miskin yang dipakai pemerintah tidak valid. Orang yang sudah meninggal masih tercatat di data, bahkan yang mampu secara ekonomi pun juga mendapat jatah BLT. Ketidaksesuaian data dengan realita sering disebabkan karena masih bercokolnya paradigma ‘proyek’ di masing-masing departemen. Tidak ada standarisasi data statistik kemiskinan di Indonesia, sehingga tiap departemen mempunyai standar sendiri-sendiri tentang kemiskinan dan hasilnya antar satu departemen dengan departemen yang lain berbeda. Baik BKKBN, Departemen Sosial, dan Depnaker serta BPS masing-masing punya data yang berbeda. Dan merupakan satu keuntungan besar bagi departemen yang bisa berpartisipasi dalam menyajikan data orang miskin pada program BLT dan Raskin. Meski, ternyata sesampainya di lapangan, banyak kekacauan karena data error.
BAB 4
PENUTUP
Banyak pihak percaya jika keberhasilan dan efektifitas dalam program pengentasan kemiskinan sangat ditentukan oleh keterpaduan dalam perencanaan dan pelaksanaan berbagai program tersebut.  Dalam program pengentasan kemiskinan setidaknya memuat: (1) peningkatan dan penyempurnaan program-program pembangunan masyarakat khususnya masyarakat pedesaan; (2) peningkatan desentralisasi dan otonomi dalam pengambilan keputusan (3) peningkatan peran masyarakat secara efektif, dengan pendampingan yang efektif dan intensif juga.
            Faktor lain yang harus menjadi fokus dalam pengentasan kemiskinan adalah program-program pendidikan karena walau bagaimanapun pendidikan adalah dasar dari setiap keberhasilan. Baik yang dilaksanakan melalui program-programformal maupun informal.










DAFTAR PUSTAKA
Akhmadi. 2004. Perencanaan dan Penganggaran Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Daerah: Kasus Sulawesi Selatan. Dalam Hariyanti Sadali dan Nuning Akhmadi (eds). “Perencanaan dan Penganggaran Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Daerah: Pola Mana yang Paling Tepat?” Prosiding Lokakarya, Makassar. Jakarta: Lembaga Penelitian SMERU.
http://ardaninggar.wordpress.com/2009/06/23/evaluasi-implementasi-program-program penanggulangan-kemiskinan-dan-pemberdayaan-masyarakat-di-era-otonomi-daerah
Suparmoko. 2000. Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: BPFE

Tulung, Freddy et al. 2008. Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia. Jurnal Dialog Kebijakan Publik. Edisi 3 / November / Tahun II / 2008. Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar